Penetapan Hakikat Tauhid
Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya. Maka, ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22)
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8:23)
Allah Ta’ala berfirman,
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ
“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar) selain Dia, dan (begitu pula) para malaikat serta orang-orang yang berilmu (bersaksi), demi tegaknya keadilan. Tiada ilah (yang benar) selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. Al-Maktab Al-Islami)
Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan, menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan (yang benar) dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu (ilahiah pada selain Allah) adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah, kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiah disematkan kepada selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya. (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)
Baca juga: Memahami Tafsir Tauhid
Sesembahan yang hak
Allah Ta’ala berfirman,
ذَ ٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَـٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِیُّ ٱلۡكَبِیرُ
“Yang demikian itu, karena Allah adalah (sesembahan) yang benar. Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Yaitu, patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka itu adalah (sesembahan yang) batil. Karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun mudarat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 449)
Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
تعبدُ الله لا تشركُ به شيئًا، وتُقيمُ الصلاةَ، وتُؤتي الزكاةَ، وتَصومُ رمضانَ، …
“Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan salat wajib, zakat yang telah difardukan, dan berpuasa Ramadan …” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Zat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Zat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan, kecuali kepada Allah ‘Azza Wajalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini (yang ia merupakan kekhususan ilahiah), maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan. (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)
Dengan demikian, seseorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من قال لا إله إلا الله، وكَفَرَ بما يُعْبَدُ من دون الله حَرُمَ مالُه ودمُه وحِسابُه على الله
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)
Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, akan tetapi tidak mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang saleh (yang sudah mati), maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadis dan meninggalkan sebagian yang lain. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid, hal. 12)
Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فإنَّ اللَّهَ قدْ حَرَّمَ علَى النَّارِ مَن قالَ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بذلكَ وجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena (ikhlas) mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ’anhu)
Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أشهَدُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ ، و أنِّي رسولُ اللهِ ، لا يلْقَى اللهَ بِهِما عبدٌ غيرُ شاكٍّ فِيهِما إلَّا دخَلَ الجنةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwasanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan, kecuali ia masuk surga.” (HR. Muslim)
Baca juga: Salah Paham tentang Tauhid
Dakwah yang paling utama
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أولَ ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله” –وفي رواية: “إلى أن يوحدوا الله-
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah dakwah kepada tauhid. (lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 67 oleh Syekh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syekh).
Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha illallah (berdasarkan perintah Kitab suci mereka). Akan tetapi, karena ucapan mereka tidak dilandasi dengan ilmu dan pemahaman, maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka. (lihat Qurrat ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 36 oleh Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
Di antara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadis di atas adalah wajibnya menerima hadis ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam hadis ini, Mu’adz diutus ke Yaman seorang diri. Hadis ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadis ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib. (lihat Ibthal At-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 42 oleh Syekh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terkandung pelajaran diterimanya khabar/hadis ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata, “Di dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir kepada tauhid sebelum memerangi mereka. Dan tidaklah mereka dihukumi sebagai muslim, kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat Syarh Muslim, 2:48)
Demikian sedikit kumpulan catatan yang bisa kami susun dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq.
Baca juga: Tauhid dan Terangkatnya Musibah
***
Yogyakarta, 24 Shafar 1445 H / 10 September 2023
Disusun di Markas YPIA Pogungrejo – semoga Allah menjaganya –
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/87679-penetapan-hakikat-tauhid.html